Skip to content
Website resmi Desa Pikatan - Kec. Wonodadi
Find Us on Social Media –
Sejarah Desa
Home // Sejarah Desa_
Website resmi Desa Pikatan
Sejarah Desa Pikatan

Pembentukan sebuah Desa atau wilayah merupakan bagian dari perkembangan kehidupan manusia dengan tujuan untuk memenuhi kepentingan hidupnya sebagai mahluk sosial yang selalu membutuhkan antara manusia satu dengan manusia lainya sehingga terbentuklah sebuah tatanan atau kelompok masyarakat, terbentuknya kelompok masyarakat karena tiga alasan pokok, yaitu pertama, untuk hidup mencari makan, pakaian dan tempat tinggal, kedua, untuk mempertahankan hidupnya dari ancaman luar dan ketiga, untuk mencari kemajuan dalam hidupnya.[1] Desa juga sebagai unit terendah dalam struktur wilayah  negara/kerajaan sehingga negara/kerajaan memiliki kewajiban untuk menyelesaikan pekerjaan yang tidak dapat dilaksanakan oleh Desa dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat sehingga dilakukan oleh kerajaan (pemerintah pusat). Seperti halnya Desa Pikatan adalah salah satu Desa kuno atau Desa tertua yang ada di Kabupaten Blitar, dahulu Desa Pikatan dibawah wilayah kekuasaan kerajaan Panjalu/Kediri Desa tersebut sudah ada sebelum tahun 1117 masehi, hal tersebut ditandai dan dibuktikan dengan penemuan prasasti Padelegan 1 di Desa Pikatan. Prasasti Padelegan 1 tersebut terdapat keterangan tahun 1038 saka atau 1117 masehi yang dikeluarkan oleh raja kerajaan Kediri Sri Bameswara dengan gelar Sakalabhuwanatustikarana Sarwwaniwaryya Parakrama Digjayottunggadewa dari wangsa Isyana beliau memimpin selama 18 tahun tepatnya mulai tahun 1116 sampai dengan 1134 masehi. Kerajaan tersebut berpusat di Dhoho Kediri dengan wilayah kekuasaanya meliputi wilayah antara Gunung Wilis di sebelah barat dan Gunung Kawi di sebelah timur[2] dengan demikian Desa Padelegan (sekarang Desa Pikatan) merupakan bagian dari wilayah kekuasaan kerajaan Panjalu/Kediri yang memiliki lahan pertanian luas dan subur .

Kerajaan Panjalu/Kediri adalah pecahan dari kerajaan kahuripan. Sedangkan Kahuripan kelanjutan dari Mataram kuno wangsa Isyana, pendiri Wangsa ini adalah Rakai Empu Sindok[3] yang berpusat di wilayah Jawa Tengah dekat gunung Merapi akan tetapi kerajaan Mataram Kuno tersebut mengalami kehancuran yang luar biasa diakibatkan terjadinya bencana alam letusan gunung Merapi sehingga Rakai Empu Sindok memindahkan kerajaan tersebut dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dengan membangun kembali kerajaan tersebut sekitar tahun 929 masehi yang berlokasi di Tamwlang tepatnya daerah Jombang. Pemindahan kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur selain faktor bencana alam letusan gunung Merapi juga untuk menghindari serangan dari kerajaan Sriwijaya. Namun berbeda dengan pandangan beberapa pakar sejarah yang menyatakan kedua alasan pemindahan kerajan tersebut kurang kuat, seorang pakar sejarah Ismail Lutfi mengatakan alasan yang kuat pemindahan kerajaan Mataram Kuno atau Medang Kamulan ke Jawa Timur karena faktor perekonomian. Para pembesar kerajaan telah melihat potensi besar perekonomian di Jawa Timur  dibidang perdagangan dengan jalur Sungai Brantas yang tembus sampai ke laut Jawa. Hal tersebut dibuktikan dengan perkembangan perekonomian dalam bidang perdagangan pada saat itu sudah pesat. Masa kekuasaan Rakai Empu Sindok selama 19 tahun mulai dari tahun 929 masehi sampai 948 masehi setelah masa pemerintahan Rakai Empu Sindok dikenal dengan zaman kegelapan karena sedikit bukti dan informasi mengenai sejarah kerajaan tersebut karena selama kurang lebih 70 tahun hanya ada tiga prasasti yang ditemukan.

Kerajaan Medang Kamulan mengalami peristiwa berdarah pada abad  ke sepuluh adanya penyerangan dari Raja Wura Wari Lwaram Blora kerajaan tersebut merupakan sekutu dari kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Wura Wari melancarkan serangan disaat medang kamulan melaksanakan pesta pernikahan putri raja Darmawangsa Teguh dengan Airlangga. Kerajaan Medang Kamulan luluh lantah tak tersisa akan tetapi Airlangga mampu menyelamatkan diri dan berlari sampai ke pegunungan Prawito atau Penanggungan yang ditemani oleh Narottama seorang pengikut Airlangga yang sangat setia menemani disaat masa pelarianya. Dalam pelarian dan persembunyianya Airlangga menyusun kekuatanya kembali dengan mempersiapkanya kekuatan rohaninya maupun persiapan fisiknya dengan sangat matang dan sampailah saatnya Airlangga mampu membangun kembali kerajaan Medang Kamulan pada tahun 1019 masehi Dengan menempatkan ibu kota kerajaan dilembah Gunung Penanggungan wilayah Sidoarjo kerajaan tersebut diberi nama Kahuripan. Raja Airlangga adalah satu-satunya raja yang berkuasa di kerajaan ini, kerajaan Kahuripan berlangsung sangat singkat hal tersebut bukan karena mendapat serangan dari musuh akan tetapi raja Airlangga memutuskan untuk membagi kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian. Pembagian kerajaaan tersebut dilakukan pada tahun 1041 masehi untuk menghindari pertikaian kedua puteranya yakni Mapanji Garasakan dan Sri Samarawijaya berseteru untuk menjadi penguasa kerajaan berikutnya. Dari hasil pembagian kerajaan tersebut terbentuklah  kerajan Jenggala bertempat di Kahuripan yang diberikan kepada Mapanji Garasakan dan yang kedua Kerajaan Panjalu/Kediri yang berpusat di Dhaha diberikan kepada Sri Samarawijaya. Pembagian kerajaan ini menandai berahirnya kekuasaan raja Airlangga penguasa kerajaan Kahuripan. Selanjutnya raja Airlangga memilih untuk turun tahta beliau memilih menjadi pertapa meskipun dengan berat hati hingga wafat pada thun 1049. Semasa kepemimpinan raja Airlangga terdapat peninggalan bukti sejarah diantaranya Candi belahan, candi semar jalatundo, prasasti kamalgyan, prasasti pucangan, prasasti panwatan, prasasti cane, prasasti terep dan kitab arjunawiwaha.[4]

Perebutan kekuasaan tersebut dikarenakan purteri Sanggramaijaya Tunggadewi atau Dewi Kili Suci sang putri dari raja Airlangga yang semestinya pengganti tahta kekuasaan kerajaan kahuripan setelah raja Airlangga tidak bersedia untuk menggantikan kepemimpinan kerajaan Kahuripan. Sang Dewi Kili Suci lebih tertarik pada ketenangan dan kesunyian Gunung Selomangleng Kediri dan memutuskan untuk menjadi seorang pertapa dari pada memilih hiruk pikuk dan pesta pora Istana. Kisah tersebut ditulis dalam Kitab Negarakertagama dan juga dikisahkan dalam Prasasti Serat Calon Arang. Setelah pembagian kerajaan Kahuripan, namun tetap saja cita-cita raja Airlangga tidak dapat terwujud. Pertikaian tersebut terus berlanjut Baik Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan sama-sama merasa berhak atas seluruh takhta Airlangga peperangan pun terus terjadi di antara kedua kerajaan. Peperangan antara kerajaan Jenggala dan kerajaan Panjalu/Kediri terjadi selama 60 tahun lamanya. Meski di awal kemenangan ada di tangan Jenggala, namun pada akhirnya Panjalu/Kediri yang berhasil menguasai seluruh takhta Airlangga. Dengan kemenangan tersebut pusat kerajaan Panjalu/Kediri dipindahkan dari Daha ke Kediri. Sejak saat itu nama Panjalu kian memudar dan kerajaan lebih dikenal dengan nama Kediri. Sejarah berdirinya Kerajaan Kediri tertuang dalam kitab sastra salah satunya dalam kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Kerajaan ini pertama kali dipimpin oleh raja Sri Samarawijaya, di mana pemerintahannya dimulai sejak tahun 1042 M. Kerajaan besar ini runtuh pada tahun 1222 M disaat kepemimpinanya raja Sri Kertajaya. Kerajaan Kediri berkuasa selama 177 tahun, Sebagai kerajaan agraris, Kediri memiliki lahan pertanian di sekitar aliran Sungai Brantas termasuk desa padelegan (sekarang Desa Pikatan) dulu wilayahnya sampai pinggir sungai Berantar yang dikenal dengan pinggir ing tasik sehingga dihasilkan banyak komoditi pertanian yang menjadi sumber perekonomian. Tak hanya itu, wilayah kekuasaan kerajaan Kediri meluas bahkan mencapai seluruh Pulau Jawa, sebagian Pulau Sumatera, pesisir pantai Kalimantan, hingga Kerajaan Ternate. Adapun raja yang berkuasa dikerajaan Panjalu/Kediri adalah :

  1. Sri Samarawijaya,-(1045 M)
  2. Sri Jayawarsa,_(1104-1115 M)
  3. Raja Bameswara,-(1117-1135 M)
  4. Sri Jayabaya,-(1135-1159 M)
  5. Sri Sarweswara,-(1159-1170 M)
  6. Sri Aryyeswara,-(1170-1180 M)
  7. Sri Gandra,-(1181 M)
  8. Sri Kameswara,-(1190-1200 M)
  9. Sri Kertajaya,-(1200-1222 M)

Melihat luasnya wilayah kekuasaan kerajaan Kediri membuktikan bahwa kerajaan Kediri merupakan kerajaan yang kuat dan memiliki sistem pemerintahan yang maju serta memiliki pertahanan Negara/Kerajaan yang solid. Termasuk Desa Padelegan (sekarang Desa Pikatan) merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Kediri yang diyakini sejak tahun 1045 Masehi sudah ada dan sampai pada puncaknya ditahun 1117 Masehi  dinobatkan oleh raja Sri Bameswara menjadi wilayah sima swatantra atau yang dikenal dengan Desa bebas pajak ditandai dengan pemberian prasasti Padelegan 1. Tidak hanya itu Desa Padelegan (sekarang Desa Pikatan) juga dijadikan sebagi tempat Pendidikan prajurit pemanah berkuda yang kemudian sebelum kemerdekaan Indonesia tempat tersebut dijadikan lapangan olah raga berkuda atau pacuan kuda. Melihat hal tersebut masyarakat Desa Pikatan pada saat itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam membangun dan mempertahankan kerajaan Panjalu/Kediri baik dalam hal SDMnya yang sebagian penduduk menjadi Prajurit dan juga wilayahnya yang dijadikan sebagai salah satu tempat latihan prajurit.

Desa Padelegan (sekarang Desa Pikatan) pada masa kerajaan Panjalu/Kediri luas wilayahnya meliputi Desa Pikatan, Wonodadi, Kolomayan, Gandekan, Kunir, dan Karanggayam. Sesuai keterangan dalam prasasti candi pertapan yang berbunyi “i wleri i pandyasan luwëm i lajiran i rawadi i pandyasan makadi sira ri trinayana muwah i jalasa I ha i lwapandak padëlgan pinggir ing tasik samangkana kweh nira saksï”. Artinya ada tokoh yang disebutkan didalam prasasti tersebut merupakan seorang pertapa yang memiliki pengaruh luas disekitar gunung pegat sampai dengan Desa Padelegan pinggir ing tasik yaitu Desa Pikatan.[5] Setelah runtuhnya kerajan Panjalu/Kediri kekuasaan beralih pada kerajaan Singasari Wangsa Rajasa yang berdiri sejak tahun 1222 masehi setelah membunuh Tunggul Ametung selaku akuwu pimpinan bawahan wilayah Kerajaan Panjalu/Kediri akan tetapi kondisi masyarakat Pikatan masih banyak yang setia dengan Kerajaan Kediri dengan berharap kekuasaan bisa direbut kembali oleh keturunan Kertajaya dari Kerajan Panjalu/Kediri. Nama Desa Pedelegan semakin memudar karena kekuasaan Panjalu/Kediri bergeser ke penguasaan Singosari dikarenaka Singosari ingin menghapus jejak-jejak kekuasaan Kerajan Panjalu/Kediri yang pada saat itu merupakan kerajaan yang memiliki kekuatan dan pengaruh cukup besar dengan demikian pada saat raja Kertanegara raja terahir singosari[6] nama Padelegan semakin pudar dan berubah menjadi nama kebiasan dan tradisi masyarakat setempat yang gemar memikat manuk/burung  (Pikatan) selain itu kebisaan masyarakat Desa Pikatan juga sebagai pemburu binatang lainya. Hal  tersebut juga dapat dilihat pada zaman kerajaan majapahit yang menerapkan aturan bagi para pemburu hewan termasuk pemburu burung dengan ketentuan pembatasan pemburuan karena pada saat itu banyak sekali penduduk yang hobi berburu termasuk penduduk masyarakat Desa Pikatan yang keseharianya mikat manuk. sehingga masyarakat sampai hari ini menyebut sebagai Desa Pikatan yang berarti mikat manuk. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Kepala Desa Pikatan

 “ yang saya tau dari keteranagan nenek moyang nama pikatan itu berasal dari kata mikat manuk karena dulu masyarakat Pikatan hobinya menjaring, mutut/jeba, nembak manuk.”[7]

Kesetian penduduk Pikatan  Kepada Kerajaan sebelum Singosari yaitu kerajaan Kediri patut diacungi jompol dikarenakan Penduduk Desa Pikatan yang tergabung sebagai Prajurit Kusus ikut membangun kekuatan dan merancang strategi yang sistematis dibawah pimpinan Jayakatwanng untuk merebut kembali titah kerajaan. Setelah persiapan yang sangat matang Jayakatwang Bersama pasukan kusus termasuk prajurit dari Desa Pikatan mulai melakukan penyerbuan kepada kerajaan Singosari pada tahun 1292 Masehi dan berhasil merebut kekuasan kerajaan Singosari. Jayakatwang adalah keturunan dari Raja Kertajaya Kerajaan Kediri.[8] Dalam hal ini keturunan kerajaan kediri mampu mengampil alih kekuasaan kembali Bersama para prajurinya termasuk prajurit kusus dari Desa Pikatan.

Setelah kemerdekaan Indonesia model pemerintahan berganti yang semula sistem kerajaan atau monarki absolut berubah menjadi Republik dengan pembagian wilayah provinsi setidaknya ada delapan, pembagian tersebut melalui sidang kedua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 agustus 1945.[9] terdiri dari Provinsi Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi dan Borneo. Sedangkan provinsi Jawa Timur memiliki kabupaten salah satunya Blitar. Keberadaan Desa Pikatan dimasa itu berada dibawah distrik Srengat kabupaten Blitar. Yang kemudian pada tahun 1992 pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui peraturan no 26 tahun 1992 tentang pemekaran wilayah atau pembentukan 18 kecamatan yang tersebar dibeberapa kabupaten wilayah Jawa Timur termasuk kabupaten Blitar dengan membentuk kecamatan baru salah satunya Wonodadi. Dengan demikian Desa Pikatan yang sebelumya bagian dari distrik atau Kecamatan Srengat beralih menjadi bagian dari Kecamatan Wonodadi karena Desa Pikatan berada di tengah jantung kota kecamatan Wonodadi yang memiliki jalur strategis menghubungkan kabupaten Tulungagung dan Kediri. Dan terletak 300 meter diatas permukaan laut, dengan jarak menuju kota kabupaten Blitar sekitar 30 kilo meter.

Desa Pikatan memiliki luas wilayah 5,97 Km atau sekitar 15 persen dari luasnya Kecamatan Wonodadi merupakan Desa terluas dikecamatan Wonodadi dan berdasarkan sistem manajemen kependudukan Desa Pikatan tahun 2022 jumlah penduduknya mencapai 6.411 jiwa dengan rincian 3.281 berjenis kelamin laki-laki dan 3.130 berjenis kelamin perempuan yang tersebar di empat Dusun. Adapun Dusun Desa Pikatan terdiri dari :

  1. Dusun Pikatan yang terdiri dari empat blok yaitu krajan yang terletak di tengan jantung pedukuhan, Sugih Waras terletak disebelah barat dusun Pikatan, Sidorejo terletah disebelah timur dusun Pikatan, dan Sono yang terletak disebelah selatan dusun Pikatan.
  2. Dusun Plosokembang terdiri dari dua blok yaitu blok tentrem wilayah dusun Plosokembang bagian selatan, dan blok Kembangan bagian utara.
  3. Dusun Gendis terdiri dari tiga blok yaitu blok Sari berada dibagian jantung pedukuhan, blok wates terletak dibagian selatan, dan blok Gendis terletak di sebelah utara.
  4. Dusun Karangtengah terdiri dari tiga blok yaitu blok Karangtengah berada dijantung padukuhan, blok Slamet berada disebelah selatan, dan blok Cangkring berada disebelah utara.

Dari asing-masing dusun dipimpin oleh seorang Kamituwo yang memiliki tugas sebagai pelayan masyarakat ditingkat dusun atau padukuhan. Keempat Dusun tersebut terbagi menjadi 7 Rukun Warga dan 31 Rukun Tetangga.

Keterangan diatas menegaskan bahwa  Desa Pikatan adalah salah satu Desa tertua di Kabupaten Blitar bahkan lebih tua 207 tahun dari Blitar karena Desa Pikatan sudah ada sebelum tahun 1117 Masehi dengan bukti ditemukanya prasasti Padelegan 1 di Desa Pikatan pada tahun 1891 Masehi oleh Dr. Jan Laurens Andries Brandes dan terbaca oleh beliau. Prasasti tersebut menerangkan tanggal dikeluarkanya yaitu tahun 1038 saka atau 11 Januari 1.117 Masehi  Prasasti tersebut merupakan anugerah dari Raja Sri Bhameswara kerajaan Panjalu/Kediri kepada Masyarakat Padelegan (sekarang Desa Pikatan) dengan menetapkan wilayah Desa Pikatan sebagai daerah Sima Swatantera karena masyarakat Desa Pikatan telah menunjukkan kesetiaanya dan rela berkorban jiwa raganya untuk kerajaan Panjalu/Kediri hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Desa Pikatan memiliki jiwa Patriotisme yang tinggi  terhadap negara/kerajaan pada saat itu.

Anugerah Prasasti Padelegan I dari raja Sri Bameswara Raja untuk Desa Padelegan/Pikatan

Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis di atas bahan yang keras seperti batu atau bahan yang awet lainya. Prasasti juga merupakan sumber sejarah penting karena dapat menjelaskan  peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa itu sehingga peristiwa sejarah  dapat diruntut atau ditelusuri dari prasasti tersebut. Prasasti juga merupakan bukti fisik yang dapat mengungkap unsur penanggalan, nama, dan alasan prasasti itu dikeluarkan oleh peradaban kerajaan pada masa kerajaan tersebut. Prasasti juga merupakan turunan dari bahasa sanskrit yang memiliki arti pujian. Sejalan dengan arti tersebut prasasti dapat diartikan sebagai sumber tulisan sejarah yang berasal dari tinggalan masa lampau yang biasanya tertulis di atas batu, lempengan logam (emas, perak, atau tembaga).[1] Fungsi atau penggunaan prasasti pada jaman dahulu yakni digunakan sebagai peresmian, peringatan, penghormatan, perayaan, dan lain sebagainya. kebanyakan, prasasti diketahui memuat keputusan mengenai penetapan Desa atau daerah menjadi daerah kependudukan yang memiliki keistimewaan atau juga hal yang lainya.

Begitu pula halnya dengan prasasti Padelegan I yang di temukan di Desa Padelegan (sekarang Desa Pikatan) prasasti tersebut merupakan pemberian dari raja Panjalu/kadiri raja Sri Bameswara beliau adalah raja dari Kerajaan Kediri yang berkuasa sekitar tahun 1117-1130 M. Dengan nama gelar abhisekanya Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara Sakalabhuwana Tustikarana Sarwaniwariwirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa.[2]  Prasasti Padelegan I tersebut merupakan prasasti yang pertama kali dikeluarkan oleh raja Sri Bameswara tepatnya pada tanggal 11 januari 1117 M,.

Prasasti Padelegan I tersebut merupakan anugerah raja Sri Bameswara Kepada Penduduk Desa Padelegan (sekarang Desa Pikatan) dengan maksud menetapkan daerah itu sebagai daerah sima swatantra.[3] Daerah sima swatantra adalah daerah yang diberikan keistimewaan dengan menetapkan wilayah atau Desa Padelegan (sekarang Desa Pikatan) sebagai wilayah atau Desa bebas dari penarikan pajak, tidak hanya itu daerah tersebut diberikan keistimewaan  sebagai daerah istimewa berupa kemudahan menjalin komunikasi antara penduduk Padelegan dengan raja Sri Bameswara melalui perantara juru pangjalu Mapanji Tutusing Rat untuk menyampaikan kondisi dan permitaan penduduk Desa Padelegan (sekarang Desa Pikatan) demi kemakmuran Desa dan kesejahteraan penduduknya. Prasasti Padelegan I yang dianugerahkan kepada penduduk Padelegan (sekarang Desa Pikatan) merupakan bentuk apresiasi yang tinggi dari raja Sri Bameswara kepada penduduk Desa Padelegan (sekarang Desa Pikatan) karena mereka telah berjasa kepada kerajaan atau sang raja dengan memperlihatkan besarnya kebaktian mereka terhadap kerajaan atau raja, mempertaruhkan jiwa raganya agar raja memperoleh kemenangan didalam peperangan, dan telah berhasil menjadi pelindung raja.[4]

Prasasti tersebut dipindahkan dari Desa Pikatan ke Museum Penataran Kabupaten Blitar sedangkan prasasti tersebut berbentuk stella, dengan puncak kurawal dengan ukuran tinggi 145 Cm, lebar atas 81 cm, lebar bawah 70 cm, tebal 18 cm.[5] Prasasti ini masih dapat terbaca oleh Dr. Jan Laurens Andries Brandes dan didokumentasikan lewat Oud Javansche Oorkonde dengan nomor prasasti no. LXVII. Dr. Jan Laurens Andries Brandes adalah salah satu perintis arkeologi Indonesia dan terkenal ketika menemukan naskah manuskrip Nagarakertagama pada saat penyerbuan Belanda di puri Cakranegara Lombok pada tahun 1894. Berkebangsaan Belanda, lahir di Rotterdam 13 Januari 1857 dan meninggal di Batavia 26 Juni 1905 pada umur 48 tahun.[6] Beliau ahli epigrafi, filologi, dan leksikografi (ahli tulisan kuno, ahli bahasa kuno dan ahli penyusun kamus bahasa langka), serta kolektor barang kuno. Prasasti Padelegan I memiliki penanggalan angka tahun 1038 saka atau 11 Januari 1117 Masehi. Nama raja yang disebut adalah Sri Bameswara dengan bergelar lengkap Sri Maharaja_Sri_Bameswara_sakalabhuwaņatuṣṭikaraņa_sarwwaniwaryyawiryy parakrama_digjayotunggadewa.  Isi dari prasasti ini adalah memperingati anugerah raja Sri Bameswara kepada penduduk Desa Padelegan sewilayahnya termasuk daerah kalang-kalang dan kebayangan berupa penetapan suatu daerah menjadi sima  swatantra[7] prasasti tersebut diberikan kepada para pejabat dan penduduk Desa Padelegan (sekarang Desa Pikatan), karena mereka telah menunjukan kesetiaanya kepada raja dengan mengorbankan jiwa raganya di medan pertempuran.

Anugerah prasasti Padelegan yang diberikan sang raja Sri Bameswara kepada penduduk Desa Pikatan pada tanggal 11 januari 1117 masehi merupakan bentuk apresiasi yang tinggi serta bentuk nyata kepedulian sang raja serta penghargaan yang sangat istimewa. Karena tidak banyak Desa atau wilayah yang mendapatkan penghargaan seperti itu hal ini membuktikan bahwa penduduk Desa Pikatan memiliki jiwa patriotisme yang sangat tinggi terhadap kerajaan atau sang raja Panjalu/Kediri. Kesetiaan dan kepatuhan penduduk Desa Pikatan terhadap kerajaan atau raja dengan rela berkorban jiwa dan raga demi memperjuangkan kemenangan didalam pertempuran melawan musuh kerajaan, tidak hanya itu sebagian besar penduduk Desa Pikatan juga termasuk pasukan khusus atau pasukan elit pemanah berkuda yang dipilih menjadi benteng terkuat kerajaan Panjalu/Kediri dan juga pasukan khusus untuk melindungi raja.